Emak yang kusayang.

Oleh : Tauhid Ichyar

Agama, Pencerahan367 Dilihat

Persatuannews.com Emak masih terbaring diatas tempat tidur, selang oksigen masih menempel diujung hidungnya, sesekali kulepas memastikan apakah nafasnya masih sesak. Sejak tiga hari lalu beliau opname, penyakit asmanya kambuh selama musim hujan akhir tahun ini. Walau dokter mengatakan penyakit emak berangsur sembuh, sudah bisa pulang. Namun aku masih ingin beliau tetap di RS. Aku khawatir sesak nafasnya kambuh lagi kalau dirumah, cucunya Nidar, Nyta dan Maryam senang mengajak emak ngobrol. Kalau sudah ngobrol kadang anak-anak suka lupa kalau Emak harus istirahat. Jadwal emak tidur malam jadi terganggu. Sementara jam 21.00 beliau harus sudah tidur, diatas jam 21.00 emak mengeluh payah tidur. Faktor usia mungkin menyebabkan sulit tidur, usia beliau saat ini memasuki tujuh puluh puluh tahun.

Dua minggu lalu cucunya Asnah dan kemanakannya Adel datang dari Jakarta, “kangen dengan emak”, ujar mereka saat berbincang dengan emak dan aku dipojokan ruang tamu. Mereka bercerita tentang pendidikan mereka saat ini dan meyampaikan salam adik laki-laki Emak paman Budiharjo. Sampai beliau kecapean mendengar cerita serta canda-canda mereka. Adel putra tertua pamanku bercerita, tekun emak mendengarkannya. Pandai si Adel bertutur kata, pandai pula Ia bercanda ria dalam tutur katanya.

Apalagi Adel bercerita tentang Ayah kami. Senang sekali emak mendengarnya. Masa kecil Adel bersama emak dan ayah beberapa tahun, sehingga kesan baik Adel terhadap emak dan ayah begitu dalam. Sempat pula Adel jadi adikku paling kecil, Rafiq adikku yang kecil suka cemburu dengan kasih sayang emak dan ayah pada Adel saat itu.

Perjuangan Emak

Kupijat-pijat kaki emak dengan minyak kayu putih, walau tidak lagi dingin seperti malam kemarin Emak merasa nyaman “, mana anak-anakmu Zan, sejak pagi tadi belum emak dengar suara mereka ”, sapa emak padaku pelan.”sudah pulang mak”, jawabku “pagi tadi mereka kemari sebelum kuliah, Emak masih tidur“ kataku lagi. “kenapalah tak kau bangunkan emak”, kata Emak lagi. “siang nanti mereka datang lagi Mak”, jawabku menyenangkan hatinya. “Zan, mak rindulah dengan ayahmu “, kata Emak lirih padaku“ malam tadi mak mimpi ayahmu datang, dia tidak bicara apapun, dia hanya tersenyum kepada emak ”, tiba-tiba emak bercerita tentang ayah yang telah meninggalkan kami berenam dua puluh lima tahun lalu. Aku jadi sedih, teringat perjuangan emak membesarkan kami anak-anaknya beberapa puluh tahun lalu.

Aku anak ketiga, diatasku dua kakak perempuan, aku anak laki-laki tertua, ada dua orang adik-adikku yang masih kecil saat ayah meninggal dunia. Aku masih duduk dikelas dua SMP, Rafiq adik ragilku masih kelas dua sekolah dasar. Emak saat itu hanya seorang guru Madrasah tsanawiah swasta dekat rumah. Tidak banyak yang ditinggalkan Ayah saat itu, sepetak rumah yang kami tempati dan dua ekor kambing. Saat itu Ayah hanya pegawai dikantor Kepala Desa, sementara malamnya ngajar ngaji di Masjid desa.

Dua ekor kambing yang ditinggalkan Ayah berkembang menjadi banyak, serasi rupanya kami berternak kambing. Emak memberiku tanggungjawabku untuk memeliharanya, tiap hari sepulang sekolah, kuangon kelapangan rumput dibelakang Balai Desa, sambil menjaga kambing aku buka buku, belajar. Selesai belajar, kubabat rerumputan ilalang, persiapan makan siang untuk esok hari. Hampir setiap sore kusempatkan bermain bola bersama teman-temanku dilapangan bola kantor Balai Desa, sebelum azan maghrib tiba kami bergegas mandi dan sholat kemasjid. Tugasku menjadi tidak ringan saat Ayah tiada.

Ayah yang mengajar ngaji diMasjid Desa harus kugantikan, aku harus mengajar ngaji anak-anak Desaku setiap malam ba’da mahgrib hingga menjelang Sholat Isya termasuk dua adiku Ihsan dan Rafiq. Biasanya sepulang dari masjid Emak sudah menyiapkan makan malam, bersama Emak, kakak dan adik-adikku kami makan bersama seadanya. “Dua sehat, tiga sempurna”, kataku. Dua sehat ada nasi dan ada juga sayur, tiga sempurna, kalau ada ikan, nasi dan sayur. Biasanya Emak menyediakan sayur daun ubi tumbuk atau sayur oblok-oblok, kelapa diparut separuh tua direbus hingga santannya mendidih lalu dimasukan ikan teri. Lezat sekali dilidahku, masakan Emak luar biasa enaknya.

Kadang karena terlalu sering menu makan tak berganti, adikku Rafiq merengek-rengek minta telur dadar kesukaannnya, Emak cuma bilang. “satu butir saja” kata emak, “ yang sembilan butir lagi, kau antarkan besok Zan kekedai Bou Butet, ambil uangnya untuk uang sekolah kakakmu “, kata Emak lagi.

Untuk menghidupi keluarga kami, setiap malam, bahkan hingga larut malam Emak menjahit oto, pakaian dalam anak-anak berumur enam bulan hingga dua tahun. Rajutan kain percah, dijahit bersusun, berbentuk segitiga, diatas dan bawahnya ada tali simpul pengikatnya. Terbuat dari kain sisa baju kodian yang dikumpul dari pasar. Setiap dua atau tiga hari kujemput kepasar tradisional dilos kios pa’ Siahaan, pa’ Gian atau pa’ Barjo kain peracah yang tidak terpakai lagi. Dengan kain-kain sisa ini Emak berkreasi membuat alas kaki, sprei atau taplak meja sebagai tambahan dari menjahit oto anak-anak.

Sering pula dikeheningan malam emak kulihat berqiamulail, mendo’akan anak-anaknya. Mungkin karena sering dilakukannya jiwanya kuat mendidik dan membesarkan kami seorang diri. Kebiasaan emak jadi kiabiasaanku pula saat ini. Emak mendidik kami anak-anaknya dengan sikap tegas namun lemah lembut. Hidup tidak boleh suka-suka, harus teratur, santun dalam bertuturkata, berakhlaq, harus bisa saling memaafkan, saling memberi, saling menghargai, saling berkasih sayang, senang bersimpati atau berempati.

Raih cita-citamu dengan target dan usaha jangan cepat berputus asa. Banyaklah berdo’a kepada Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah do’a, kerja keras dalam perjuangan emak mendidik dan membesarkan kami, lima anak-anak emak bisa selesai sampai jenjang sarjana, kakakku Aty yang sedikit tertinggal, begitupun ia selesai diploma tiga kebidanan.

Aku tersenyum mengenang perjalanan hidup masa lalu kami,“ kenapa pula kau ini Zan senyum-senyum” kata Emak membuyarkan lamunanku “ ah, enggak mak, sudah enakan badan emak ”, kataku mengalihkan pembicaraan sambil memijat-mijat kepalanya.

Sosok Emak

Emak adalah sumber kasih sayang, mengasuh mendidik, menjaga tanpa batas. Dialah ujud malaikat siang dan malam yang selalu menjaga dan terjaga setiap malam, menemani ketakberdayaan kita. Senantiasa dalam hidupnya mendahulukan kepentingan anak dari dirinya. Mencintai tanpa menuntut balas. Sosok Emak kata yang jujur namun kuat, diucapkan setiap mahluk hidup dalam bahasa yang berbeda. Dengan kata Emak setiap kita mendapatkan kasih sayang, ketulusan hati, kehangatan, pengorbanan, cinta yang agung diciptakan dan ditumbuhkanNYa dalam diri semua emak terhadap anak-anak yang dilahirkannya. Karena itu Sang Khalik berwasiat kepada manusia untuk taat dan berbakti kepadanya.

Bagi seorang emak, kelahiran kita anak-anaknya disisinya adalah muara rasa syukur, rasa terimakasih yang dalam, meski ia tidak pernah tahu kelak akan seperti apa anak yang dilahirkannya, namun emak selalu bersyukur sejak kali pertama kita hadir dimuka bumi. Kesyukuran itu terus dan terus ia berikan bahkan sebelum kita bisa berbuat apa-apa. Tanyakan pada emak kita saat pertama kali dia tahu dirinya mengandung kita, seperti apakah perasaaannya, penuh rasa syukur kepadaNya sejak kita masih dalam bentuk tanda-tanda ada. Berterima kasih kepada kita yang telah mengisi rongga rahiemnya.

Motivasi hidupnya menyala-nyala, dimakannya makanan bergizi, dimakannya makanan penuh nutrisi agar kita tumbuh dan berkembang dalam rahiemya. Meskipun hamil itu tidak nyaman, berat dan memberatkan, lemah menambah kelemahan, tapi emak tidaklah mengeluh, bahkan ia sering berbicara kepada kita, meski kita tak lebih calon bayi dalam kandungannya. Hamil menyusahkannya berjalan, duduk atau tidur, merusak nafsu makannya, mengganggu kecantikannya bahkan menyusahkannya dalam bekerja namun seluruh usaha daya dan upayanya menjaga kita agar lahir dalam keadaan selamat dan sehat. Ketika kita lahir kedunia, emak bertarung dalam persalinan antara hidup dan mati, nyawa menjadi taruhannya, Ia menahan tangis, rasa sakit yang luar biasa menulari seluruh tubuhnya.

Berterimakasih pada Emak.  

 Membalas segala kebaikan emak sudah selayaknya dilakukan walau jelas ukurannya tak akan pernah sebanding, emak memberi tanpa mengharap balasan, emak tak pernah menuntut berlebih-lebihan. Sebaliknya emak selalu mengapresiasi apa yang coba kita berikan, meski itu sepele dan tak bernilai.

Kita ingin berbakti kepada emak, sebisa mungkin, sebesar mungkin, tapi sebaliknya, justru yang diharapkan emak dari kita bukan apa yang bisa kita berikan untuk dia, tapi apa yang bisa kita berikan untuk diri kita sendiri, atau anak-anak kita yang memang cucu-cucunya. Emak, memang selalu memberi, bukan menerima, maka ketika ia harus menerima dari anak-anaknya akan sesuatu, diterimanya walau terkadang dengan berat hati.

Jika kita sadar bahwa segala pencapaian prestasi berupa, karir, harta, jabatan serta pangkat tak terlepas dari jasa emak, maka betapapun lirih rasa syukur itu kebesarannya melebihi segala apa yang telah kita berikan kepada emak. Kalau dulu emak sendiri bisa mengurus lima anaknya, tapi kini lima anaknya sulit mengurus emak sendiri. Betapapun ekspresi rasa senangnya makna yang dibawa menyadarkan kita, betapa pemberian kita selama ini belum berarti apapun dalam membalas jasa kepada emak kita.