persatuannews.com. Aku berdiri di depan kampus. Sebulan lalu aku mendaftar disekolah Emmanuel tempat pendaftaran mahasiswa baru jurusan Teknik Universitas Medan Area. Aku berjalan menggenggam map cokelat berisi fotokopi ijazah, formulir registrasi, dan secarik surat panggilan, “Orientasi Mahasiswa Baru-Angkatan 1983”.
Pagi itu jantungku berdegup kuat, bukan karena takut. Tapi karena ini adalah awal dari perubahan yang telah lama kuinginkan. Pagi itu jam tujuh tiga puluh, langit memancar rona kebiruan, diarah barat sedikit berawan. Kabut tipis menggantung di atas rerumputan yang mengelilingi kampus Simpang Barat, Universitas Medan Area, kampus yang menjadi ketetapanku menuntut ilmu di Perguruan Tinggi.
Hari ini, hari kedua pelonco kuikuti, sepeda kuparkir sederetan teman-teman baruku, topi pandan lebar kembali kukenakan. Aku melangkah ke lapangan yang sudah dipenuhi wajah-wajah baru, seperti aku. Kami berdiri berbaris, jaket almamater belum kami miliki, tapi semangatnya sudah terasa. Senior-senior datang, sebagian bersuara keras. Tapi di mataku mereka seperti pahlawan kampus, calon ilmuwan.
Wajah mereka terlihat lelah, tapi bangga. Jaket biru itu, ah, tampak seperti jubah para kesatria intelektual. Salah satu dari mereka memanggil namaku. “Tomi? ”Aku mengangkat tangan. “Saya, kak.” Ia tersenyum kecil. “Selamat datang, calon mahasiswa baru, kamu jurusan apa?,” kujawab dengan sigab,” Teknik Arsitektur kak.” Jawabku, “woow keren ya, sepertinya belom ada jurusan tersebut di Sumatera Utara’, jawabnya. “selamat ya semoga sukses,” ujarnya.
Baca Juga :
- Komunitas Pencinta Ilmu, Pengetahuan, dan Intelektual (KOPI PAHIT) dan Prodi S1 PPI Gelar Majelis Akademik Rutin dan Kongkow Berbasis Riset (MARKOBAR) Ke-16P PERSIS Apresiasi Pengetatan Haji oleh Saudi, Soroti Carut Marutnya Penyelenggaraan Haji Indonesia 2025
- LAZ Persis Sumatera Utara Menyerahkan Bantuan Bencana
- Muhammad Nuh Dukung Pembangunan Jalan Lintas Padang Lawas-Mandailing Natal, Siap Kawal di Tingkat Nasional.
Hari-hari ospek adalah campuran antara tegang, lucu, dan manis. Kami disuruh membuat yel-yel jurusan. Suaraku sumbang, tapi aku ikut teriak juga. Kami ditugasi membawa atribut aneh, topi lebar daun pandan, tali rafia di leher, dan botol bekas yang dijadikan alat musik. Tapi di balik semua itu, tumbuh persahabatan. Aku masih ingat nama mereka ada, Jhon dari Teknik Sipil, Arya dari Ekonomi, dan Amin dari Hukum. Kami sering duduk di bawah pohon, berbagi nasi bungkus dan cerita masa SMA.
Hari perpeloncoan mahasiswa baru saja usai, kulihat mahasiswa Teknik menggelar diskusi di bawah pohon dekat pojokan kampus, diseberangnya diskusi mahasiswa ekonomi, Sebagian mahasiswa terhenti langkahnya ikutan bergabung. Suara radio RRI terdengar memutar lagu Ebiet G. Ade, Dian Piesesha, sesekali Bimbo. Kami dengar lewat radio kecil Jhon, aku ikutan nimbrung diskusi kampus tersebut.
Hidup kami sederhana, namun terasa kaya. Setiap sore, langit UMA yang berwarna oranye keemasan mengantar kami pulang dari kuliah. Tapi di dalam dada, kami tahu, kami sedang menempuh jalan panjang jalan untuk mendapatkan ilmu, jalan perubahan hidup.
Dijalan itulah, aku mulai mengenal, disiplin dan tanggung jawab, dan arti kebebasan yang sesungguhnya. “Jika suatu saat lupa bagaimana rasanya berdiri sebagai mahasiswa baru di UMA, ingatlah pada pagi hari, bersepeda berpakaian rombe-rombe, topi pandan. Dan terdengar suara lantang senior, rasa malu saat disuruh menyanyi dan tawa bersama teman-teman yang belum dikenal. Dan ingatlah bahwa saat dikampus diri ini menjadi seseorang yang punya arti.”
Pada semester kelima, tahun ketiga kuliah, tugas kampus menjadi rutinas harian, idealisme mulai menantang kenyataan. Nyata terkadang kebutuhan harian perlu biaya tambahan, kiriman orangtua terkadang habis untuk beli alat gambar dan kertas kalkir. Bersama teman-teman kampus; mahasiswa ITM dan Panca Budi jurusan Arsitektur dan Sipil berkoloborasi, membentuk kelompok kerja seperti konsultan kecil, sebuah jalan keluar mencari alternatif sumber keuangan.
Kelompok kerja arsitektur, semacam sanggar semi-profesional yang bisa menerima proyek dari luar kampus, desain rumah tinggal, ruko satu lantai, pos jaga, taman kota, bahkan renovasi Mushola serta taman rumah yang saat itu sangat digemari masyarakat menengah.
Saat tidak disibukan dengan kuliah kami kumpul di Studio Sanggar Arsitektur. Nama itu muncul karena kami percaya, setiap arsitek akan dikenang rancang bangunnya yang modern, unik dan penuh estetika.
Pagi itu aku berdiri di parkiran Masjid Taqwa Kampus UMA, melihat tatanan apik Gedung yang cukup megah diselingi hijauanya hutan kota dan kesibukan para alumni berlalu-lalang bersama orang tua dan keluarga. Mataku masih memandangi kampus hijau indah dan asri, tiba-tiba bahu ku disenggol Hazzry Ahyar, aku sedikit kaget,“ yok kita ambil tempat, Batara Surya sudah didalam, kita diminta segera menyusulnya,” ujar Ahyar.
Aku tersadar, waktu begitu cepat berlalu, Empat puluh dua tahun lalu, rasanya baru kemaren jadi mahasiswa di Teknik Arsitektur UMA. Rektor UMA, Prof. Dr. Dadan Ramdan, M.Eng, M.Sc mengundang Alumni angkatan ’83 dari Forsa-UMA untuk hadir memberikan motivasi bagi Alumni baru pada acara Wisuda priode II tahun 2024.
- Penulis : Tauhid Ichyar, Ketua Forsa-UMA.
- Anggota Ukhuwah Islamiyah MUI Sumatera Utara.