Bagaikan Menggenggam Bara

Menggenggam bara dakwah di zaman fitnah adalah ungkapan dari sebuah hadist yang menggambarkan betapa beratnya istiqamah yang berpegang teguh pada Islam di masa akhir zaman yang penuh dengan berbagai ujian dan godaan.

Medan-persatuannews.com. Di tengah gemuruh dunia yang kian bising oleh tipu daya, di saat kebenaran dibungkam dan kebatilan dielu-elukan, berpegang teguh dalam Islam bagaikan menggenggam bara api. Tidak mudah, bahkan terasa panas terbakar.

Rasulullah ﷺ mengabarkan bahwa akhir zaman adalah fase fitnah yang kebaikan berkurang dan keburukan menjadi-jadi. Hakikat fitnah adalah terbaliknya suatu kondisi dari yang semestinya yang haq dianggap batil dan yang batil dianggap haq.

Allah ﷻ berfirman :

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Artinya : “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).

Namun justru di sinilah nilai dakwah itu diuji, ketika menyeru kepada Allah bukan lagi jalan yang nyaman, melainkan perjuangan menantang arus. Dakwah bukan sekadar kata di mimbar, tetapi keberanian menyalakan cahaya di tengah kegelapan, meski tangan terbakar dan langkah dipenuhi berbagai rintangan.

Menggenggam bara dakwah di zaman fitnah adalah ungkapan dari sebuah hadist yang menggambarkan betapa beratnya istiqamah yang berpegang teguh pada Islam di masa akhir zaman yang penuh dengan berbagai ujian dan godaan.

Rasulullah ﷺ bersabda :

يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ

Artinya : “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260).

Orang yang berpegang teguh pada agama diibaratkan memegang bara api karena akan merasakan sakit dan tekanan, seperti halnya menghadapi caci maki, dikucilkan, dianggap aneh, atau bahkan terancam nyawa karena mempertahankan prinsip-prinsip Islam di tengah gempuran syahwat, hawa nafsu, dan berbagai bentuk fitnah lainnya.

Rasulullah ﷺ bersabda :

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita” (QS Al-Ahqaf : 13).

Dalam sebuah hadits disebutkan Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

بدأَ الإسلامُ غريبًا، وسيعودُ كما بدأَ غريبًا، فطوبى للغرباءِ

Artinya : “Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah ghuraba (orang-orang yang asing)” (HR. Muslim no. 145).

Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah menjelaskan hadis ini dengan mengatakan, “Artinya bahwa Islam dimulai dalam keadan asing sebagaimana keadaan di Mekkah dan di Madinah ketika awal-awal hijrah. Islam tidak diketahui dan tidak ada yang mengamalkan kecuali sedikit orang saja.

Baca juga :

  1. Menhut: Bencana di Sumatera titik balik perbaikan tata kelola hutan
  2. PERSIS PEDULI Gerakkan Bantuan dan Penggalangan Dana Bencana Sumatera dan Aceh
  3. 1.902 KK terdampak banjir di Tapanuli Tengah

Kemudian ia mulai tersebar dan orang-orang masuk Islam dengan jumlah yang banyak dan dominan di atas agama-agama yang lain. Dan Islam akan kembali asing di akhir zaman, sebagaimana awal kemunculannya.

Islam tidak dikenal dengan baik kecuali oleh sedikit orang dan tidak diterapkan sesuai dengan yang disyariatkan kecuali sedikit dari manusia dan mereka itu asing.

Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan ibadah di zaman yang penuh fitnah, zaman yang penuh peperangan dan permusuhan, dan zaman yang penuh rumor serta kabar palsu adalah termasuk dari seutama-utamanya ibadah dan besarnya pahalanya.

Rasulullah ﷺ bersabda :

الْعِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إلَيَّ

Artinya : “Beribadah di masa haraj (sulit) itu layaknya berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim no. 2948 dan Tirmidzi no. 2201)

Hal ini karena di zaman-zaman tersebut, manusia banyak lalai dari ibadah dan lebih tersibukkan dengan apa yang sedang terjadi di sekeliling mereka, melupakan zikir, meninggalkan Al-Qur’an atau bahkan meninggalkan salat berjemaah.

Sungguh, siapa saja yang menghadirkan hatinya untuk Allah Ta’ala pada zaman itu, menjaga akhlak yang baik dan menyambung silaturahmi, maka seakan-akan ia sedang berhijrah, menuju Nabi ﷺ.

  • Penulis : Tauhid Ichyar
  • Ka.Kantor LAZ Persis Sumatera Utara

Persatuan News

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *