REVOLUSI AKHLAK DALAM DIRI

Pencerahan307 Dilihat

Sejak peristiwa beberapa hari lalu seluruh tubuhku sedikit lemas. Terasa nyeri pada setiap persendian. Tenggorokan terasa serat saat menelan. Namun begitu aku tidak merasa lelah. Beberapa patner bisnisku malah melihatku sedikit lebih tenang dan bersemangat. “Qi, enerjik betul kau ini…, tambah agamis lagi”, ujar Ashadi memulai obrolan dengan segelas kopi pagi. Senyum saja aku menanggapinya. “Iya nih, beberapa hari ini aku lebih tenang dan segar. Rasanya aku tidak memiliki masalah….”, sambil kuputar-putarkan ujung jariku pada layar laptop, memonitor pergerakan rupiah atas kurs dollar pada bursa saham, menutupi kegundahanku.

Aku sendiri menyadari beberapa hari ini banyak diam. Ibadah mulai kutingkatkan. Banyak bersedekah, menahan marah, cenderung banyak sabar. Dirumah, bantu-bantu istri beres-beres halaman rumah, merapikan taman belakang, menyapu kamar tidur. Bersih-bersih kandang ayam yang biasanya dilakukan Mang Barjo. Rara istriku sampai terheran-heran, “ oala mas, tumben kamu begini,…tapi aku senang liat kamu seperti ini lho, penuh perhatian”, katanya sambil meletakan penutup keramik diruang tamu. Jalan-jalan seputar kampung menyapa tetangga kulakukan. Padahal biasanya aku selalu tidak peduli.

Baca juga :

  1. Ketua Umum PP PERSIS Tutup Muskernas III dengan Ajakan Implementasi dan Sukseskan Hasil Musyawarah
  2. 20 Tahun Gempa Bumi dan Tsunami Aceh, Adalah Tragedi Terburuk Abad Ini.
  3. Peran lingkungan dalam mewujudkan kepribadian yang baik.

Keluar rumah kalau bukan untuk urusan bisnis, rasanya malas, kecuali ada keperluan lain seperti beli rokok atau lainnya. Belakangan ini kata mbak Pur, babu cuci dirumah, katanya aku seperti dermawan, menghamburkan uang dengan murah hati. Padahal selama ini aku selalu pelit “, tumben nih Qi, dapet rejeki nomplok ya”, kata kak Butet iparku saat kuberikan tip satu juta untuk ponakan-ponakan yang sudah yatim. Sewaktu ada pengamen dan pengemis, akupun merogoh dompet dengan cepat. Bukan seribu atau dua ribu seperti biasanya kalau aku memberi. Namun lima puluh ribu bahkan seratus ribu.

Akhlaq perlu direvolusi, walau orang lain melihatnya sedikit bingung dengan perubahan sikapku. Aku juga mulai merasa hambar melihat segala benda-benda yang kukejar mati-matian selama ini, mobil terbaru, beberapa rumah, kavlingan tanah, ladang sawit dan ladang karet menjadi tanpa makna. Koleksi mobil mewah, koleksi kendaraan bermotor kubiarkan terparkir digarasi. Aneh, kelihatannya seperti onggokan sampah yang menumpuk. Modelnya juga seperti botot yang nyaris tak bernilai. Demikian juga segepok uang dan harta yang kudapat dengan berbagai cara, aku melihatnya seperti rongsokan kertas koran yang tak berarti apa-apa.

Dalam benakku sebagaimana yang telah kusampaikan ke Rara istriku, “aku lebih suka hartaku dijual saja semua, bangun masjid dan panti asuhan saja,“ ujarku, “ bagaimana dengan aku dan anak-anak “, ujar Rara istriku heran dengan sikapku berputar 1800, “ambillah apa saja yang menjadi haq kalian”, jawabku santai. Begitulah revolusi akhlaq yang sedang bergejolak dalam diriku.

Perubahan ini kurasakan saat peristiwa beberapa hari lalu. Senin malam itu suasana mencekam, hening dan sepi. Dalam kesendirian, aku bagai berhadapan dengan hakim Yang Maha Adil. Kelebatan bayangan Malaikat Izrail mendekat dan kian mendekat, sesak dada dan tenggorokanku, nafasku tersedak, merasakan sakratul maut menjeput, sakit yang sangat luar biasa seluruh tubuhku, panas, dingin, gemetaran, begitu dahsyat rasa sakit itu, kulitku tersayat-sayat dari daging bagai kambing dikuliti, rasa sakit sebagaimana diceritakan tentang kematian.

Lalu kurasakan sakit berdenyut-denyut pada ujung jemari kaki dan tanganku. Dalam kesakitan luar biasa itu muncul slide yang terus berganti-ganti, aku melihat semua kebaikan dan keburukan yang kulakukan sejak kecil hingga dewasa. Lalu, kakiku menjadi buntung, kemudian tanpa paha, kemudian tanpa tubuh, kemudian tanpa tangan, kemudian tanpa leher, dan akhirnya ruhku berpisah dari jasadku.

Semua kesadaran tentang ruang-waktu lenyap ditelan gelap gulita. Sesaat kulihat kilauan cahaya melesat dan meluas. Lalu padam dan ruhku memasuki zona luas tak berbatas, aku tidak tahu dimana. Sejenak kesadaran kurasakan kembali tanpa nuansa duniawi. ” Ayah, Ibu….,Rara, Didi, Risa…., dimana kalian semua, oh tolong aku….”, teriaku sekuatnya memanggi-manggil orang-orang yang kucintai. Teriakanku nyaris tak terdengar dalam kesendirianku, “mas,…bangun mas, bangun mas…., kau bermimpi”, Rara istriku mengguncang-guncang badanku yang basah penuh bintik-bintik keringat, “ istigfar mas “,Rara kembali berucap, aku tersadar, “Astagfirullah, oh…aku hanya bermimpi”.

Penulis : Tauhid Ichyar
Pengurus PW Persis Sumatera Utara
Pengurus Komisi Ukhuwah MUI Sumatera Utara

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *