Risau Diujung Senja

Oleh : Tauhid Ichyar

persatuannews.com. Setumpuk pakaian kotor sudah tiga hari masih terendam dalam ember, terasa aroma menyengat ujung hidung. Tina putri pak Baroto belum sempat mencuci pakaian yang menumpuk itu. Kesibukannya sebagai perempuan karir dan seorang istri dengan tiga anak terkadang sering melalaikan tugas sebagai ibu rumah tangga.

Menjelang tahun baru pembantu minta cuti, sudah hampir seminggu pulang kampung. Hadi Broto, hanya bisa memandang, tidak biasa mencuci, pekerjaan yang hampir tidak pernah dilakukannya. Lebih dari separoh hidupnya dilayani. Walau tersedia mesin cuci namun tak tahu bagaimana menggunakannya. Sebulan terakhir ini tinggal bersama Tina putrinya bungsunya, karena tinggal dirumah besarnya selalu kesepian, hanya ditemani cucu yang juga punya banyak kesibukan.

Tiba-tiba sesosok tubuh muncul dari balik pintu teras. Lelaki tua dengan tubuh kurus, di sampingnya berdiri seorang laki-laki berumur duapululima tahunan. “Assalamualikum “, sapanya,” Waaalaikumsalam” jawabnya singkat “siapa ?“, jawab pak Broto.“ Maaf ya, Tina, suami dan anaknya keluar kota”, kata pak Baroto lagi, “ bukan…, kami tidak sedang ingin bertemu mereka, justru kami ingin bertemu dengan-mu”, jawab tamu itu lagi. Pak Baroto ragu-ragu menerima mereka. Namun sang tamu sudah dekat dengan pintu, “masuklah”, jawab pak Baroto, lalu dipersilahkan keduanya untuk duduk sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka berdua ?.

Baca juga :

  1. Hujan dan Kehidupan Mikrokosmos: Sebuah Analogi Biologis
  2. Muskerwil 2 PW Persis Sumut Resmi di Buka Oleh Ketum PP Persis
  3. KH Muhammad Nuh Tutup Muskerwil II Persis Sumut

“Aku teman masa kecilmu dan ini putra bungsuku, Zufri”. “Aku tetangga dekat rumahmu dikampung. Di bawah pohon serie kita selalu bermain petak umpat. Tidak jauh dari tepi sungai Kahean,” katanya memperkenalkan diri. “oh”, kataku dalam hati. Itu peristiwa enam puluh tahun silam. Ketika aku masih anak kecil, usia tujuh atau delapan tahun barangkali “.Pak Baroto tersenyum sambil mengangguk-angguk.

Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benaknya. “apa rumahmu dekat rumah kepala Desa kita?”, kata pak Baroto. Ia mengangguk. “Kalau begitu, kau ini si Martonggo?,”ya,” jawabnya dengan wajah yang cerah.

Dipeluk pak Baroto dia dengan erat,“sudah lama sekali kita tidak bertemu, apa kabarmu” kata pa’ Baroto sambil melepas pelukan. “dua puluh tahun lalu suratmu masih kuterima, hampir setiap tahun kau kirimkan kartu lebaran, karena kesibukan karirku sebagai hakim, jarang kubalas”, kata Pak Baroto, “Kita sudah sama-sama tua. Mungkin tidak lama lagi kita meninggal dunia. “Ini Zupri bertugas di-Polres kota ini”, katanya memperkenalkan putra bungsunya.

Pertemuan singkat itu berlalu dalam bilangan tahun. Dan ketika pak Baroto berkunjung ke Siantar, Martonggo terbaring di tempat tidur, di ruangan VIP RS Vita Insani. Beberapa selang oksigen di hidungnya. Tak satupun anaknya yang hadir menjaganya. Masing-masing jauh, Bharata putra sulungnya di-Canberra Australia, Tina putrinya di-Amsterdam, Maratua di Kopenhagen dan Zupri ditugaskan dikota Sorong, hanya keponakannya Andrian yang ada.

Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya berkaca-kaca sambil mulutnya berkata, “kudengar kau datang. beginilah keadaanku. Sudah berbulan-bulan aku terbaring”. Agak sulit ia bicara. Dadanya tampak sesak ketika bernapas.

Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat dekat, waktu berjumpa di Jakarta, berbisik, “Pak Martonggo sudah tiada, pada usia yang ke-72, tak seorang anaknya pun yang menemaninya saat sakratulmaut.” “Innalillahiwainnailaihirojiun,” kataku kepada diriku sendiri. Usia kami terpaut bulan. Kami lahir dan dibesarkan didesa Sei Kaheian kampung Melayu kota Pematang Siantar. Usia telah ditelan waktu! Giliran? Pasti bergilir, bisik batin pak Broto, siapakah setelah itu. “akukah”, guman pak Baroto.

Dalam kilas balik masa lalu, Pak Baroto teringat seorang teman sekantor, Pandapotan Hasian yang selalu menelepon beberapa tahun yang lalu. Secara diam-diam menghilang, tersangkut kasus hukum. Karena ingin melepaskan tanggung jawab Ia melarikan diri keluar negri. Dinegeri penuh harapan itu ia memulai kariernya yang baru, bangun subuh mengitari bagian kota, melempar-lemparkan koran dari rumah ke rumah.

Sepi merundung hidupnya, di tengah keramaian kota dan keheningan senja, membuatnya resah. Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus dilakukan. Tetapi usia yang menjelang tujuhpuluh itu, cukup melelahkan untuk bertahan hidup. Seperti seorang turis, suatu senja, entah serangan apa yang mendera dadanya, penyakit asma menyerangnya. Ia mati di ruang hajat. Astagfirullah, sungguh menyedihkan perjalanan hidupnya.

Beberapa waktu kemudian, Pak Baroto mendapat SMS dari Tina anaknya yang sedang wisata ke Bali. Ningrum adik sepupunya, meninggal dunia. Tutup usia ke-63 tahun. Ningrum seorang pengusaha kaya yang hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya. Diakhir usianya tak seorangpun mendampinginya, sepi sendiri ditengah gelimpangan hartanya yang tak terkira. Tidak ada wasiat waris kemana gelimpangan harta akan diberikan. Tumpukan harta yang diperjuangkannya berlaku sia-sia.

Tidak biasa Pa’ Broto berlibur dengan keluarga sejak istrinya Maghdalena meninggal lima tahun lalu. Kepergian ke Jakarta hanyalah karena anak yang hidup di tengah keramaian, yang berangkat subuh dan pulang menjelang tengah malam. Ada kejenuhan dalam tugasnya yang rutin, ia dan keluarga berlibur ke Bali.

Pak Baroto teringat, disaat masih mengabdi sebagai pegawai negri di Departemen Kehakiman. Sebagai Hakim Agung, apa saja rasanya mudah didapat. Jabatan, kehormatan, harta, berupa kendaraan terbaru, rumah-rumah yang besar, ladang-ladang dan ternak yang berlimpah, anak buah yang siap diperintah, mudah. Mudah sekali mendapatkannya.

Kini diusianya yang sudah menjelang 75 tahun, bertanya-tanya dalam hati, jejak apa yang sudah kutorehkan dalam hidup ini dan kebaikan apa pula yang kutinggalkan. sebelum tiba giliranku menghadap-Nya? Jangan-jangan kehadiranku kedunia tak lebih sebagai pecundang. Amal apa yang kubawa ?. Semakin pak Baroto merenung, semakin dalam sakit menusuk-nusuk dadanya. Dalam kesendirian, pak Baroto semakin risau di-ujung senja.

  • Penulis Pengurus PW PERSIS Sumatera Utara
  • Pengurus Lembaga Ukhuwah Umat Islam MUI Sumut