Kepo kepada Tetangga.

Dengan sedikit rasa penasaran disertai perasaan heran, sang istri berucap, “Pa, coba lihat tuh tetangga depan, agaknya ia jarang menadapatkan sentuhan suami”, ujar sang istri. Sang suami sambil menyeruput kopi hangatnya dan menjawab, “kok kamu tahu, memangnya kenapa?”.

persatuannews.com. Dalam bermasyarakat sering kita dengar kata “kepo”? Kata kepo jadi salah satu bahasa gaul yang sering digunakan masyarakat awam. Biasanya kata ini diucapkan untuk merespon orang yang bertanya karena terlalu ingin tahu.

Tetangga yang kepo adalah tetangga yang selalu ingin tahu tentang kehidupan tetangganya. Kepo merupakan sifat alami manusia yang ingin tahu. Mendorong seseorang untuk terus belajar dan memahami dunia di sekitarnya.

Kata kepo sudah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan diartikan sebagai rasa ingin tahu yang berlebihan tentang kepentingan atau urusan orang lain.

Ternyata kata kepo merupakan singkatan. Yang menariknya, kepanjangannya bukanlah berasal dari bahasa Indonesia, melainkan bahasa Inggris. Ya, Kepo singkatan dari “Knowing Every Particular Object”.

Sepasang suami istri yang baru  memiliki seorang anak, menempati rumah baru disebuah kompleks perumahan. Pasangan muda ini menempati rumah minimalis di sebuah komplek perumahan. Walau keduanya belum begitu mengenal baik lingkungan perumahan, namun sang istri sangat ingin tahu para tetangganya.

Mereka berencana seminggu lagi ingin mengundang tetangganya atas syukuran masuk rumah baru. Di ruang tamu sore itu, keduanya berbincang sambil menikmati kopi hangat dan sepiring gorengan. Sang istri melihat melalui kaca jendela ke arah depan tetangganya yang sedang menyapu terras rumahnya.

Baca juga :

    1. Laz Persis Sumut Berbagi Berkah Ramadhan 1446 H.
    2. Sebatang Rokok.
    3. UPT SPF SDN 101873 Desa Baru Gelar Kegiatan “Ramadhan Ceria” Membentuk Karakter Religius Siswa.

Dengan sedikit rasa penasaran disertai perasaan heran, sang istri berucap, “Pa, coba lihat tuh tetangga depan, agaknya ia jarang menadapatkan sentuhan suami”, ujar sang istri. Sang suami sambil menyeruput kopi hangatnya dan menjawab, “kok kamu tahu, memangnya kamu kenal ?”, ujar suaminya lagi.

“Kelihatan dari wajahnya, cemberut terus. Beberapa hari ini kuperhatikan, setiap beraktifitas wajahnya cemberut”, sahut sang istri. Sambil melihat sekilas ke arah jendela lalu ke arah istrinya, sang suami tersenyum tanpa mengucapkan sesuatu. “Sepertinya tetangga kita kurang refreshing, mungkin suaminya kurang mencintainya”, lanjut sang istri tersenyum.

Keesokan harinya, kejadian yang sama kembali menjadi perhatian sang istri. Namun kali ini melalui kaca jendela rumah sebelahnya, ia memandang tetangga sebelah yang sedang mengepel terras rumah. Penilaiannya sama sebagaimana tetangga depan rumahnya.

Wajahnya, seperti tetangga didepan rumahnya, berkulit gelap dan kurang ceriah, terlihat cemberut  dan pakaiannyapun terlihat kusam. “Apa tetangga diperumahan ini kurang bahagia semua”, ucapnya dalam hati. Ia masih berkomentar seperti kemarin, dan suaminya menanggapinya seperti kemarin, hanya tersenyum ke arah istrinya dan tidak mengucapkan sepatah katapun.

Hingga suatu sore dihari libur, sang istri heran melihat keluarga didepan rumah bersama suami dan anak-anaknya mengendarai sepeda sport, santai keliling ketaman komplek, saling bertegur sapa dengan tetangga sebelah rumah mereka. Mereka sangat akrab dan penuh keceriaan.

Iapun memanggil suaminya seraya berkata, “Lihat Pa, istri tetangga depan rumah kita keren lho dengan training dan spatu sportnya”, ujar sang istri. “tuh lihat sepeda gunung Thrill. Mereka sekeluarga begitu ceria dan akrab, saling bertegur sapa sesama tetangga komplek”, sebut sang istri.

Sang suami dengan santainya menjawab, “pulang dari Masjid ba’da subuh tadi, halaman depan, semua kaca jendela kubersihkan. Ternyata yang kamu lihat beberapa hari ini, tetangga yang selalu cemberut kurang sentuhan suami itu, salah”, sebut suaminya.

“kita yang belum bersih-bersih halaman, dalam rumah serta kaca jendela sejak menempati rumah ini” ujar suaminya tersenyum. “ternyata kamu itu kepo kepada tetangga, memberikan stigma buruk, subjektif dalam menilai, padahal kita belum melihatnya secara utuh”, sebut suaminya lagi.

Penilaian yang didasarkan kepada subyektifitas, belum tentu benar. Maka, sebelum dapat menilai secara obyektif, hendaknya jangan dulu memutuskan baik atau buruk sesuatu.

  • Penulis : Tauhid Ichyar.
  • Pemerhati Lingkungan Masyarakat.