Dari Meja Diskusi ke Balik Jeruji: Perjalanan Tiga Sahabat

"Kadang kami berdebat. Aku berbicara lantang, dia tetap kalem. Dan ditengah kami, Karim hanya sering menghela nafas mencoba menengahi dua kepala yang sama kerasnya".

persatuannews.com. Cerita perjalanan tiga sahabat  dalam perjuangan bangsa saat Indonesia dalam cengkeraman penjazahan. “Aku masih ingat hari-hari itu,” ujar Soekarno. Kami bertiga, duduk dalam satu meja, membicarakan negeri yang sama-sama kami cintai”, sebut Soekarno lagi.

Aku, Hamka, dan Karim Oei. Hamka selalu berbicara dengan tenang, tapi isinya tajam. Dia tak pernah ragu menegaskan bahwa Islam harus menjadi ruh dalam perjalanan bangsa ini.
Sementara aku, aku punya pandangan lain, aku ingin bangsa ini kuat dengan ideologi yang bisa merangkul semua.

“Kadang kami berdebat. Aku berbicara lantang, dia tetap kalem. Dan ditengah kami, Karim hanya sering menghela nafas mencoba menengahi dua kepala yang sama kerasnya”.

Tapi meski berbeda, kami tetap tertawa bersama.
Tetap berbagi secangkir kopi, tetap memanggil satu sama lain dengan sebutan “sahabat.”

Pertemuan antara Soekarno dan Hamka pertama kali terjadi saat Soekarno diasingkan ke Bengkulu. Hamka yang saat itu masih muda, tertarik dengan gagasan-gagasan Bung Karno tentang politik dan sosial. Mereka kemudian menjadi dekat dan sering berdiskusi tentang berbagai topik.

Sebelumnya, ketika membaca pahamnya tentang politik atau sosial dan agama dalam Pedoman Masyarakat Bung Karno ingin bertemu Hamka

sampai beliau bertanya kepada salah seorang teman, di mana dia bersekolah.

Ketika di jawab dia hanya mengaji saja dan sekolah nya pun tidak pula tamat, bertambahlah keinginan nya untuk bertemu.

Dikemudian hari Soekarno menjadi presiden dan Hamka menjadi tokoh agama yang berpengaruh, persahabatan mereka tetap kuat. Bahkan, saat Bung Karno memerintahkan penangkapan Hamka karena perbedaan pandangan politik.

Momen bersejarah ketika Bung Karno datang ke Maninjau pada tahun 1948, beliau berkata di hadapan beribu-ribu rakyat:

“Saya adalah anak kehormatan orang Maninjau! Saya adalah anak angkatnya Dr. H. Abdulkarim Amrullah! ”
Dalam pidatonya Bung Karno berpantun ; “Jika adik memakan pinang, makanlah dengan sirih yang hijau,
Jika adik datang ke Minang, jangan lupa datang ke Maninjau”.

Ketika Haji Rasul, Dr. A. Karim Amrullah hidup di Jakarta, dia telah berkata “Engkau adalah anakku hai Karno” (Buya Hamka, kenang-kenangan hidup)

Buya Hamka…”Aku tak pernah menyangka persahabatan kami akan sampai pada titik ini. Dulu, aku dan Bung Karno berdiskusi sebagai saudara. Saya menulis, berbicara, dan menyampaikan apa yang menurut ku benar.

Baca juga :

  1. Laz Persis Sumut Berbagi Berkah Ramadhan 1446 H.
  2. Musim Kemarau : Hijaukan Halaman Rumah, Menghadirkan Kesejukan.
  3. Mudik Itu Adalah Energi Kerinduan.

Tapi hari itu datang. Bukan undangan diskusi yang saya terima, bukan surat pertemanan. Melainkan tuduhan dan fitnah, saya ditangkap, dijebloskan kedalam penjara atas perintah Bung Karno.
Saya tidak tahu, apakah Bung Karno masih mengingat hari-hari kami berbincang bersama.

Disaat kesehatan Bung Karno merosot, kekuasaan pun hilang, ketika tubuhnya melemah, ada satu nama yang terus terngiang dalam pikirannya, Hamka.

Karim Oei…,Aku berdiri di antara dua sahabat yang perlahan menjauh.

Aku tahu keduanya orang-orang besar dengan pemikiran yang besar. Tapi dimata saya mereka tetap manusia-manusia yang dulu berbagi cita-cita yang sama.

Saya ingin berkata pada Bung Karno, “Jangan lupakan Hamka, dia sahabatmu, Aku ingin berkata pada Hamka, ” Jangan benci Bung Karno, dia tetap Saudaramu.”

Hilang Dendam, Tersisa Cinta. “Buya, ini Mayjen Soeryo, ajudan Pak Harto. Ada yang ingin beliau sampaikan.” Tentara ini mengambil sikap sempurna sebelum bicara.

“Ada pesan Bung Karno untuk Buya. Pesannya, bila beliau wafat maka Buya Hamka diminta jadi imam shalat jenazahnya.”

Berdetak jantung Hamka. Tidak disangka sama sekali, saudaranya ini, Bung Karno, yang memenjarakan dirinya, tiba-tiba punya sebuah permintaan khusus.
Kenapa harus ajudan Soeharto yang membawa pesan Bung Karno?

“Beliau baru saja wafat di RSPAD pagi ini. Sekarang sedang dibawa ke Wisma Yaso. Semoga Buya bersedia meluluskan permintaan ini.”

Innalillahi wa ina ilaihi rojiun. Suara Hamka bergetar, wajahnya tiba-tiba mendung sementara pelupuk matanya basah.

Dihatinya berkecamuk perasaan kehilangan orang besar itu, orang yang dikaguminya yang sudah dianggap saudara.
Hamka berdiri dengan sendu di depan jenazah Bung Karno yang terbujur diam. Pelan-pelan, jarinya menyingkap kain putih tipis yang menutupi wajah itu. Dia tatap lama dengan wajah pilu, dan tanpa bisa menahan, kembali matanya banjir.

Wajah kawan lamanya, yang dulu hebat gilang gemilang, kini telah menyerah kepada ajal. Mulut dan lidah yang dulu mampu menghipnotis dunia, termasuk dirinya, kini telah terkunci kelu selamanya. (Buya Hamka, A. Fuadi, April 2023).

“Aku memejamkan mata. Mengingat semua perdebatan kami, semua tawa kami, semua luka yang pernah ada. Dan pada akhirnya, aku melafalkan takbir… Allahu Akbar, bukan sebagai ulama, bukan sebagai seseorang yang pernah dipenjara olehnya, tetapi sebagai sahabat yang mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Aku maafkan engkau, saudaraku”, bisiknya nyaris tak terdengar.

  • Penulis : Abdul Aziz.
  • Anggota Dewan Tafkir PP Persis.
  • Wakil Sekretaris Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Sumut.